Perubahan Pengaruh Harga Minyak Dunia

Posted by larosfx on 20 March 2015

Perubahan Pengaruh Harga Minyak Dunia Terhadap Forex Gara-gara Minyak Shale AS

Minyak bumi sebagai salah satu sumber energi utama dunia memiliki pengaruh besar bagi nyaris semua negara. Oleh karena itu, harga minyak dunia adalah salah satu dari sejumlah indikator ekonomi yang secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian di beberapa negara sekaligus. Hal ini selanjutnya terefleksikan di pasar finansial dalam bentuk apresiasi atau depresiasi nilai tukar mata uang yang mengikuti naik-turun pergerakan harga minyak dunia. Namun demikian, korelasi diantara harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang sebenarnya sangat tergantung pada kondisi pasar minyak dunia dan akan terus bertransformasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
pengaruh harga minyak dunia terhadap forex

Pengaruh Harga Minyak Dunia Terhadap Forex
Pengaruh harga minyak dunia terhadap forex dapat dilihat dari dua sudut pandang: sebagai negara produsen minyak (eksportir) dan sebagai negara konsumen minyak (importir). Negara eksportir minyak meraup manfaat dari tingginya harga minyak dunia, dan karena itu maka mata uangnya akan menguat seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia. Sebaliknya, negara berbasis manufaktur yang tak memiliki banyak sumber energi akan tergantung pada impor dan harus membayar lebih mahal ketika harga minyak tinggi; sehingga mata uangnya akan 'menderita' ketika harga minyak dunia membumbung.
Korelasi-korelasi ini lebih sering tercermin pada grafik pergerakan harga jangka panjang dibanding pergerakan dari hari-ke-hari, karena dampak kumulatifnya memukul perlahan, bukan seketika. Namun bagi mata uang yang tergolong banyak diperdagangkan di pasar forex (major), maka pergeseran harga minyak dunia akan lebih cepat mempengaruhi kepercayaan investor.
Dua contoh yang paling terkenal adalah Dolar Kanada dan Dolar AS. Kanada adalah negara pengekspor netto, yang berarti mereka akan meraup lebih banyak untuk seiring melesatnya harga minyak dunia. Oleh karena itu, tak mengejutkan bila Dolar Kanada cenderung menguat ketika harga minyak dunia memuncak, dan melemah ketika harga minyak dunia menyusut. Di sisi lain, Amerika Serikat perlu mengimpor minyak untuk memenuhi sekitar separuh kebutuhan energi industri dan rumah tangganya, dimana sebagian impor itu dipenuhi oleh minyak asal Kanada. Akibatnya, CAD/USD cenderung bergerak searah dengan pergerakan harga minyak dunia.

Contoh yang lain adalah mata uang Yen. Jepang termasuk negeri yang miskin sumber energi, sehingga sangat tergantung pada pembangkit energi nuklir-nya serta impor minyak dan gas. Dengan demikian, apabila harga minyak tinggi, maka perekonomian bisa diperkirakan terbebani. Selaras dengan itu, CAD/JPY kadang membentuk pergerakan signifikan menyusul pergerakan harga minyak dunia. Ketika harga minyak dunia jatuh, pasar bisa mengharapkan CAD/JPY bergerak turun; sedangkan ketika kebalikannya yang terjadi, maka pasar bisa mengharapkan CAD untuk bullish terhadap Yen.
Namun, paparan diatas bisa jadi telah berubah sekarang, karena praktek fracking minyak shale Amerika Serikat perlahan-lahan mengubah lansekap pasar minyak dunia.

Fracking Minyak Shale AS
Hydraulic fracturing, atau yang lebih dikenal dengan nama 'fracking' adalah metode untuk mengebor sumur dengan menginjeksi cairan dengan tekanan tinggi ke formasi bebatuan di dalam bumi dimana gas dan minyak tersimpan dalam jumlah besar, dengan tujuan agar gas dan minyak tersebut mengalir dengan lebih mudah. Metode tersebut sebenarnya telah eksis sejak lama. Di Amerika Serikat khususnya, fracking telah dilakukan sejak tahun 1949.
Penggunaan fracking untuk mengebor shale (lapisan bebatuan sedimen klastik) di Amerika Serikat telah dilakukan sejak tahun 1976 dengan dimulainya proyek Gas Shale Timur. Perkembangannya lambat, namun akhir-akhir ini semakin pesat, hingga kabarnya telah mencatat pertumbuhan produksi 45% pertahun dalam periode 2005-2010. Praktek fracking ini bertanggung jawab atas meroketnya output komoditas energi AS dan merosotnya impor baik minyak maupun gas. AS telah mengambil alih trofi Rusia sebagai produsen gas nomor satu dunia, dan diperkirakan akan menjadi eksportir netto sekitar tahun 2020. Di saat yang bersamaan, minyak shale juga telah menggerus impor minyak AS dan merubahnya menjadi produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Proyeksi oleh International Energy Agency juga memperkirakan eksplorasi minyak shale AS akan terus tumbuh dan menjadikan negeri Paman Sam sebagai produsen minyak terbesar dunia pada tahun 2020.
Fracking memungkinkan eksplorasi sumber daya alam yang tersimpan di lapisan bumi yang lebih dalam dan 'memaksa' minyak dan gas yang tersimpan didalamnya untuk mengalir keluar. Namun praktek ini bukannya tanpa kelemahan. Orang-orang yang menentang fracking sering menyebutkan bahayanya yang tinggi bagi lingkungan. Fracking berpotensi mengkontaminasi air tanah, mencemari udara, serta merembeskan gas dan zat kimia berbahaya ke permukaan bumi. Lebih dari 600 zat kimia digunakan dalam cairan fracking, dan beberapa diantaranya dikenal sebagai zat karsinogenik dan beracun, seperti Uranium, Merkuri, Ethylene Glycol, Metanol, Hydrochloric Acid, dan Formaldehyde. Apalagi, banyak perusahaan pelaku fracking menolak untuk mengumumkan zan kimia apa saja yang terkendung dalam cairan yang mereka gunakan.
Selain itu, pengeboran bebatuan dalam bumi seperti itu berpotensi mengakibatkan kejadian seismik. Faktanya, fracking dituding sebagai penyebab lebih dari selusin gempa bumi kecil di Texas dalam periode 2008-2009. Inilah mengapa walaupun menguntungkan, namun tidak banyak negara yang mengadaptasinya. Fracking saat ini masih terus menjadi subjek perdebatan sengit, sehingga pengaplikasiannya di luar AS pun tergolong terbatas.
Terlepas dari efek samping-efek samping tersebut fracking gas dan minyak shale AS telah merubah lansekap pasar minyak dunia. Berdasarkan data US Energy Information Administration, produksi minyak oleh negara non-OPEC melambung dalam beberapa tahun terakhir, dan kini meliputi 60% total produksi minyak dunia (2014). Ini berarti bahwa kemampuan kedua belas negara dalam kartel minyak OPEC untuk mempengaruhi harga minyak dunia juga terkikis secara signifikan, berikut posisi tawar mereka dalam perpolitikan dan ekonomi dunia.

Pasca Booming Minyak Shale AS
Perubahan lebih lanjut diungkap dalam laporan terbaru yang disusun oleh Jeffrey Currie dari Goldman Sachs.

Pengaruh harga minyak dunia terhadap dolar AS
Currie mencatat bahwa Amerika Serikat mengimpor sekitar 12 juta barel minyak per hari pada tahun 2008, tetapi jumlahnya kini anjlok menjadi kurang dari 5 juta barel minyak per hari sebagai dampak dari teknologi fracking minyak shale AS. Dari jumlah itu, sekitar 2.6 juta barel diantaranya diimpor dari Kanada dan Meksiko. Itu berarti, impor minyak Amerika Serikat telah merosot hingga lebih dari 60% sejak tahun 2008, dan ini secara signifikan mengurangi pengaruh harga komoditas terhadap Dolar AS.
Currie menyebutkan, "Seiring dengan normalisasi pasar keuangan pasca krisis, (jatuhnya impor minyak) telah mengurangi korelasi antara minyak dan Dolar AS secara dramatis, menjadi sekitar 0% saat ini (artinya tidak berkorelasi sama sekali) dibandingkan dari puncak historis (korelasi harga minyak dan Dolar AS) setinggi 60% pada tahun 2008/2009."
Di lain pihak, harga minyak masih dipandang sebagai salah satu penggerak Dolar Kanada. Alasannya karena produksi dan penyulingan minyak merupakan salah satu industri terbesar disana. Kanada adalah produsen minyak terbesar kelima dunia setelah Arab Saudi, Amerika Serikat, Rusia, dan China. Negeri ini diestimasikan memegang 4.54% pangsa pasar minyak dunia tahun 2014 ini.

Kesimpulan
Praktek fracking minyak shale AS telah dan akan terus mengusik pasar minyak dunia. Apalagi, produksi minyak shale AS diperkirakan akan terus tumbuh pesat karena adanya cadangan gas dan minyak shale yang luar biasa besar. Kondisi ini menghantarkan kita pada tiga poin yang bisa disimpulkan:
Negara eksportir minyak dirugikan saat harga minyak merosot, sehingga mata uang mereka akan cenderung terdepresiasi di pasar forex. Depresiasi akan terus berlangsung hingga harga minyak dunia pulih, atau hingga negara tersebut menemukan cara baru untuk mengurangi pengaruh industri pemrosesan minyak bumi dalam perekonomiannya.
Korelasi antara harga minyak dan nilai tukar mata uang negara pengimpor minyak melandai sejalan dengan berkurangnya nilai impor minyak mereka. Khususnya dalam hal Dolar AS, korelasi berkurang akibat praktek fracking minyak shale.
Penyebab tergulingnya harga minyak dunia baru-baru ini masih belum diketahui dengan jelas, tetapi analisa ini membuktikan bahwa penguatan Dolar AS bukanlah alasan utamanya.


Previous
« Prev Post

Related Posts

11:16 AM

0 comments:

Post a Comment